CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Selasa, 12 Februari 2013

Chapter II - Kekuatan Berbaik Sangka

ada banyak hal yang tak pernah kita minta tapi Allah tiada alpa menyediakannya untuk kita
seperti nafas sejuk, air segar, hangat mentari, dan kicau burung yang mendamai hati jika demikian, atas doa-doa yang kita panjatkan bersiaplah untuk diijabah lebih dari apa yang kita mohonkan

Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh.
“Dimana keadilan Allah?”, ujarnya. “Telah lama aku memohon dan meminta padaNya satu hal saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan padaNya. Kujauhi segala laranganNya. Kutegakkan yang wajib. Kutekuni yang sunnah. Kutebarkan shadaqah. Aku berdiri di waktu malam. Aku bersujud di kala Dhuha. Aku baca kalamNya. Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikuti jejak RasulNya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanmu itu. Sama sekali .”

Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih. “Padahal,” lanjutnya sambil kini berkaca-kaca.
 

“Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata menginginkan sesuatu,
hari berikutnya segalanya telah tersaji. Semua yang dia minta didapatkannya. Dimana keadilan Allah?”

Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya.  Saya bisa saja mengatakan, “Kamu sombong. Kamu bangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain. Kamu tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana Iblis telah terlena! Jangan heran kalau doamu tidak diijabah. Kesombonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanyalah anai-anai yang
berterbangan.

Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah karena dia merahasiakan amal shalihnya!” Saya bisa mengucapkan itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya. Tapi saya sadar. Ini ujian dalam dekapan ukhuwah. Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya harap lebih bermakna baginya daripada sekadar terinsyafkan sekaligus terluka. Saya khawatir, luka akan bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya. Maka saya katakan padanya,

“Pernahkah engkau didatangi pengamen? ”

“Maksudmu?”

“Ya, pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”

“Iya. Pernah.” Wajahnya serius. Matanya menatap saya lekat-lekat.

“Bayangkan jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik, dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan yang memekakkan telinga. Suaranya kacau, balau, sengau, parau, sumbang dan cemprang. Lagunya malah menyakitkan ulu hati, sama sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”

“Segera kuberi uang,” jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.” “Lalu bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi; apa yang kau lakukan?”
“Kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata, mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu.

“Lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”

Saya tertawa. Dia tertawa. “Kau mengerti kan?” Tanya saya. “Bisa saja Allah juga berlaku
begitu pada kita, para hambaNya. Jika ada manusia yang fasik, keji, munkar, banyak dosa, dan dibenciNya berdoa memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan pada malaikat: ‘Cepat
berikan apa yang dia minta. Aku muak mendengar ocehannya.

Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya!” “Tapi,” saya melanjutkan sambil memastikan dia mencerna setiap kata..

“Bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang dicintaiNya, yang giat beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan yang wajib dan menegakkan sunah; maka mungkin saja Allah berfirman pada malaikatNya: ‘Tunggu! Tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sungguh Aku bahagia bila diminta. Dan biarlah hambaKu ini terus meminta, terus berdoa, terus mengiba. Aku menyukai doa-doanya. Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyu’ dan tunduknya.

Aku menyukai puja dan puji yang dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dari Ku setelah mendapat apa yang ia pinta. Aku mencintaiNya.

“Oh ya?” matanya berbinar . “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”

“Hm… Pastinya aku tak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”

Dan dia tersenyum. Alhamdulillah.

(taken from : “Dalam dekapan ukhuwah”, Salim A. Fillah)

Wallahu’alam.

0 komentar: